Minggu, 12 Mei 2024

Dua Belas Jarum Jam

 Dua Belas Jarum Jam

 

Tiga puluh meter dari rumahku ada pintu hijau dengan gambar kucing hitam, dibawah tembok lingkar sudut jalan perlintasan dan rumput liar seperti mengapung diatas tembok tua. Dua sisi jalan arus pulang dan balik menggambarkan dua sisi karakter kucing yang berbeda. 

Parit besar dengan aliran sungai deras membawa sisa-sisa batang pohon dan sampah pabrik rumah tangga. Seperti Beni disana, teman lamaku yang tinggal di pinggir sungai itu. Rambutnya sedikit pirang karena cahaya matahari sore yang masih menyengat, dengan kaos longgarnya berwarna bata dari disisi belakang tertulisan "JARUM JAM". 

Pukul delapan belas tiga puluh empat, suara azan yang sudah mulai redup di desaku yang jauh dari keramaian. Hampir 7 tahun aku merantau di ibu kota Sumatera Utara, Medan. 

Rumah ku pasti sudah sangat lusuh sejak ku tinggal saat itu, dengan semua decak kenangan repetan ibu yang selalu ku dengar saat usiaku tujuh belas tahun.

“Beniii!,” teriak ku dari jauh dengan lambaian tangan, namun Beni tak berekspresi, seperti tidak mengenalku.

“Ben, Benii, ini aku Lia, Liana Herawati,” tegasku agar dirinya ingat.

Dari sebrang sungai, Beni mulai mencari sumber suara dan melihat ke arah barat jembatan, tampangnya begitu gugup saat mendengar suara.

“Lia siapa?,” tanyanya begitu polos dengan celana tidur batik khas Jawa. Sepertinya Beni sudah benar-benar melupakanku.

“Ya ampun kami ini, masa lupa sih sama aku yang imut ini, anak bu Risma tukang kue blok M,” tuturku menjelaskan. 

Rautnya masih menandakan kebingungan, aku mulai mendekatinya menuju tangga yang sedikit berlumut di tepi sungai.

“Kau sedang apa disini, apalagi ini waktu magrib. Kau gak takut emang, nanti kalau tiba-tiba ada yang menarikmu dari air gimana? Gak ada yang tau,” cetus ku dengan nada rapat.

“Hemmm, iya aku lagi mencari ikat rambutku terjatuh,” timpalnya. 

Alisku mulai mengkerut naik, menyipitkan mata dan mulai berpikir “ikat rambut” berputar dalam kepala ku. Lelaki dengan rambut klimis ini sedang mencari ikat rambutnya yang jatuh. Aku tercengang tapi mungkin saja memang miliknya.

Beni langsung mengajakku pulang, menaiki 6 anak tangga dengan tangannya menarikku agar meninggalkan tempat itu segera.

“Sudah ayok kita kerumah ku, pasti Aji senang kamu datang,” katanya meyakini ku. 

Aji, orang yang ku taksir sejak aku masih di duduk dibangku kelas enam. Lelaki yang selalu membuatku tertawa dengan kejahilannya. Tapi, sayang dia telah dimiliki gadis lain yang saat ini menjadi istrinya. 

“Mas Aji disini? Bukannya dia tinggal bersama istrinya di luar desa?,” tanyaku yang ingin tau tentangnya.

“Iya, dia sedangkan berkunjung kesini melihat aku dan bapak” katanya.

Waktu solat magrib hampir habis, bergegas aku langsung terburu-buru ke kamar mandi dan meminta sajadah pada Beni.

“Ben kamar mandi dimana aku mau solat, sama pinjam sajadah ya, terus tempat solatnya dimana?,” tanyaku beruntun.

“Kamar mandi di belakang lurus aja, nanti sebelah kanan, biar ku ambilkan sajadah untukmu, terus nanti solatnya di ruang galeri aja ya sebelah kiri, sajadahnya ku bentangkan di sana,” jelasnya menunjuki tempat yang akan ku jalani.

Dari lorong menuju dapur lampu tampak redup, cahaya merah seperti lampu lama yang di tutup dengan kaca berbahan bakar minyak tanah. Pikirku jaman sudah sangat modern tapi lampu ini masih terpampang di ujung tembok, berjajar dua belas membentuk persegi lima seperti perisai.

Samarnya aku mendengar tumpahan air dari sisi belakang pintu dengan gantungan pas bunga putih yang sudah kering, seperti melati. 

Dengan penasaran aku mulai melihat kanan kiri setiap sudut dinding berprasangka ada orang disana.

“Seperti suara air, tapi kamar mandi kan sebelah kanan, itu apa ya kok suaranya semakin jelas, des des des des des,” suara air menetes perlanan namun semakin cepat.

Aku mulai mendekati pintu itu, perlahan dengan seperti maling yang sedang mengendap-endap kecil, bulu-buluku mulai naik, seperti ada hawa panas di belakang punggungku. Suara itu seperti hembusan nafas yang keluar dari perut panas. 

Tubuhku seperti didekap dengan perlahan, entah apa itu, aku tidak bisa melangkah. Suara berisik mulai terdengar dari balik pintu itu, lantunannya tidak terarah sepeti ingin meminta sesuatu. Aku mulai membalikkan tubuku yang mulai kaku, perlahan dengan mataku yang tak bisa berkedip, di depan ku bunga putih itu, dengan dua belas merantai seperti bunga melati pengantin.

“Ada apa ini, kenapa tubuhku tidak bisa bergerak, bukannya ini bunga untuk pengantin yang diletakan di atas kepala, kenapa dibiarkan menggantung di pintu,” kataku dalam hati.

Seperti sosok di sana, hitam dan samar. 

“Kacamataku? Dimana dia, sial! Aku lepas karna ingin berwudhu, Siiii aa, apa ini kenapa mulutku juga tak bisa bergerak,” rasaku yang mulai sangat takut. 

Dari kejauhan Beni mulai mencariku. Nadanya yang begitu lembut menggil namaku.

“Lia, kamu sudah selesai? Kok lama sekali wudhu nya, Liii, Liaa,” panggilnya dengan nada melantun.

“Benn iii,” bataku tak bisa bicara.

“Ben, aku disini tolong aku Ben, aku gak bisa bergerak,” kataku dalam hati.

Tirai berbunga itu mulai bergerak, Beni memasuki dapur dan mencariku, dengan raut wajahnya yang begitu gembira dengan lagu Jawa yang dinyanyikannya. Beni menemukanku, seperti tidak khawatir dan memberikan senyuman lebar.

“Bagaimana Lia, Hahaha,” tawanya mencekik telingaku. 


~Bersambung


NB :Cerita ini hanya fiksi belaka, stay tune cerita selanjutnya hihihi






 

0 komentar:

Posting Komentar