Minggu, 12 Mei 2024

Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!

 Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
 
Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
 
Tak enak rasanya jika mengembara kota Medan tanpa duduk di salah satu tempat yang membawa kenyamanan, sebagai seorang pekerja lepas yang ingin duduk menghadap layar dengan tulisan-tulisan di sisi kaca sambil menikmati serial musik terkini di padu dengan segelas teh dan kopi. Diriku mulai menjelajahi satu persatu cafe dengan harga yang sangat murah.
 
Mencari cafe under 20 ribu rupiah di kota Medan ini tentu sangat menguras tenaga, tak banyak cafe di Medan yang menjual harga makanan dan minuman yang terjangkau apalagi di suguhkan dengan suasana yang nyaman dan aestatic, tak sepeti warung kopi.
Pertama kali mendatangi tempat ini dari luar sepintas tampak seperti jalanan lurus di dalam gang, rumah kosong berdempet seperti menandakan tidak ada cafe yang ternyata terletak di sebrang kos-kosan tak berpenghuni, tembok rata berlumut dan berakar dengan simbahan daun-daun menjalar bertuliskan “CAFE KALENG” di jalan Sei Gg. Senina No.11, Padang Bulan, Medan Baru dekat dengan Pajus.
 
Seperti Masuk ke Rumah Nenek
 
Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
 
Lingkaran bulat berbunga dengan suara kelenteng yang ada dalam pikiran menjadi pandangan pertamaku masuk di cafe ini, jajaran piring-piring lama yang menempel di dinding mengingatkan ku pada nenek yang sering membawanya pada ku saat aku berusia enam tahun.
Menyeruput minuman dingin ditemani roti hangat bertambur gula, sembari mengeluarkan laptop, dua handphone andalan, seribu dua ratus mililiter air galon mini dan airpods hijau bulat. Disuguhkan pemandangan barang antik tahun 80-an di pojok kanan dihiasi semprong-semprong bergantungan dan sepeda antik di depan pintu masuk.
 
Ayunan kaki yang dibuat dari mesin jahit ini mengingatkan ku pada ibu, hunting kali ini dilingkupi nuansa akar pohon besar di dalam rumah dengan tumbuhan hijau dari desa dan pot bunga anggrek tua berjajar dijendela kosong. 
 
Di Kejutkan Oleh Menu dan Harga Under 20k
 
Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
Seperti mengunjungi cafe pada umumnya, melihat tempat pun pasti sudah tergambar harga dan menu di cafe ini, minimal 18 ribu ke atas.  
 
Sedikit terkejut, karena tak sepeti dugaanku. Cafe dengan ornamen tradisional ini ternyata juga menyajikan menu dan harga yang sesuai dengan harga makanan di kampung. Mulai dari Rp7.000 hingga Rp19.000, benar-benar dibawah Rp20.000.
 
Cafe mini dengan harga yang murah meriah ini tentu menjadi target anak-anak hits kota Medan yang hanya ingin sekedar berfoto tanpa harus mahal. Memilih menu dan mencoba teh lemon dingin ditemani roti cane manis menambah sensasi rileksasi bekerja di ruang terbuka yang sepi dan teduh.
 
 
 
Tersedia Game Seru Ngumpul Bareng Teman dan Pasangan
Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
 
Cafe yang terbilang “Hidden Game” ini ternyata juga menyuguhkan memori lama saat aku masih di sekolah dasar. Sedikit kagum ternyata aku menemukan lumbung-lumbung yang terbuat dari plastik dengan isian biji-biji warna-warni. Bermain congkak namanya.
 
Tak hanya itu gambaran ular-ular dan anak tangga yang biasa menjadi mainan anak tahun 80-an juga di sediakan (ludo dan ular tangga). Jika ku bayangkan usia remaja saat itu adalah hal yang paling meriah saat aku dan teman-teman memainkan game ini dan mungkin jadi kesan yang paling romantis jika saat ini kamu dan aku mengunjungi tempat ini, sayang aku sendirian hehe.
 
Mengingat kisah saat kuliah dulu, permainan yang menghukumku harus jongkok dengan muka jelek bercoret bedak putih di jidatku juga menjadi salah satunya disini. Permainan UNO dengan tawa dan hujatan-hujatan kalau kamu tidak mengerti games ini.
 
Beli negara dan bangun rumah hingga perhotelan membuat senyumku tak berhenti tergambar, kembali saat aku masih SMP, pertama kali punya keinginan membeli game ini, di pasar tempat nenek ku tinggal. Dan hanya disana adanya, ekspektasi game ini membeli negara dan rumah dengan mudahnya. Pertama kali dikenalkan dengan permainan monopoli mendadak jadi miliarder pertanahan haha.
 
Ruang Ibadah, Lahan Parkir dan Kipas Angin
 
Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
 
Hal yang paling umum dan penting tentunya selalu jadi tolak ukur saat kita ingin mengunjungi salah satu tempat dengan waktu yang cukup lama, salah satunya adalah ruang ibadah. Cafe ini menyediakan ruang ibadah di dalam galeri ini, sayangnya untuk perempuan tidak di sediakan pelengkapan seperti mukenah, nyamannya kita harus membawa perlengkapan sendiri.
 
Kebersihan tempat terkhusus kamar mandi menjadi nilai plus setiap cafe yang di kunjungi. Kamar mandi cafe ini seperti berada di alam, bersih dan sejuk dengan bak batu bulat bergerigi seperti memasuki rumah aestetic dan kaca panjang yang di letakkan di samping luar kamar mandi.
 
Lahan area parkir tentu juga menjadi hal yang umum, terkhusus bagi pengendara mobil yang tentunya sangat pemilih untuk memasuki cafe yang hidden ini, takut tak bisa parkir. Untuk cafe ini area parkir mobil disini menurutku hanya muat 4-5 mobil saja karna gangnya yang tak begitu lebar. Berbeda dengan motor yang kurang lebih muat untuk 20-25 motor.
 
Di lingkupi dengan tumbuhan dan daun-daun di setiap sisinya, cafe ini tak menyediakan kipas angin atau alat pendingin lainnya. Seperti benar-benar di alam, angin yang datang juga berasal dari alam. Menurutku udara disini saat itu cukup membuatku sedikit gerah, entah itu karena baju yang ku pakai atau cuaca yang sedang sangat panas. Namun alangka baiknya sebagai saran cafe ini setidaknya menambahkan kipas di sisi tertentu. Cafe ini juga terdiri dari dua lantai, atas dan bawah.
 
Dokumentasi Hunting Cafe Kaleng
 
Hunting Cafe Low Budget Di Medan, Harga Under 20K!
 






 




Dua Belas Jarum Jam

 Dua Belas Jarum Jam

 

Tiga puluh meter dari rumahku ada pintu hijau dengan gambar kucing hitam, dibawah tembok lingkar sudut jalan perlintasan dan rumput liar seperti mengapung diatas tembok tua. Dua sisi jalan arus pulang dan balik menggambarkan dua sisi karakter kucing yang berbeda. 

Parit besar dengan aliran sungai deras membawa sisa-sisa batang pohon dan sampah pabrik rumah tangga. Seperti Beni disana, teman lamaku yang tinggal di pinggir sungai itu. Rambutnya sedikit pirang karena cahaya matahari sore yang masih menyengat, dengan kaos longgarnya berwarna bata dari disisi belakang tertulisan "JARUM JAM". 

Pukul delapan belas tiga puluh empat, suara azan yang sudah mulai redup di desaku yang jauh dari keramaian. Hampir 7 tahun aku merantau di ibu kota Sumatera Utara, Medan. 

Rumah ku pasti sudah sangat lusuh sejak ku tinggal saat itu, dengan semua decak kenangan repetan ibu yang selalu ku dengar saat usiaku tujuh belas tahun.

“Beniii!,” teriak ku dari jauh dengan lambaian tangan, namun Beni tak berekspresi, seperti tidak mengenalku.

“Ben, Benii, ini aku Lia, Liana Herawati,” tegasku agar dirinya ingat.

Dari sebrang sungai, Beni mulai mencari sumber suara dan melihat ke arah barat jembatan, tampangnya begitu gugup saat mendengar suara.

“Lia siapa?,” tanyanya begitu polos dengan celana tidur batik khas Jawa. Sepertinya Beni sudah benar-benar melupakanku.

“Ya ampun kami ini, masa lupa sih sama aku yang imut ini, anak bu Risma tukang kue blok M,” tuturku menjelaskan. 

Rautnya masih menandakan kebingungan, aku mulai mendekatinya menuju tangga yang sedikit berlumut di tepi sungai.

“Kau sedang apa disini, apalagi ini waktu magrib. Kau gak takut emang, nanti kalau tiba-tiba ada yang menarikmu dari air gimana? Gak ada yang tau,” cetus ku dengan nada rapat.

“Hemmm, iya aku lagi mencari ikat rambutku terjatuh,” timpalnya. 

Alisku mulai mengkerut naik, menyipitkan mata dan mulai berpikir “ikat rambut” berputar dalam kepala ku. Lelaki dengan rambut klimis ini sedang mencari ikat rambutnya yang jatuh. Aku tercengang tapi mungkin saja memang miliknya.

Beni langsung mengajakku pulang, menaiki 6 anak tangga dengan tangannya menarikku agar meninggalkan tempat itu segera.

“Sudah ayok kita kerumah ku, pasti Aji senang kamu datang,” katanya meyakini ku. 

Aji, orang yang ku taksir sejak aku masih di duduk dibangku kelas enam. Lelaki yang selalu membuatku tertawa dengan kejahilannya. Tapi, sayang dia telah dimiliki gadis lain yang saat ini menjadi istrinya. 

“Mas Aji disini? Bukannya dia tinggal bersama istrinya di luar desa?,” tanyaku yang ingin tau tentangnya.

“Iya, dia sedangkan berkunjung kesini melihat aku dan bapak” katanya.

Waktu solat magrib hampir habis, bergegas aku langsung terburu-buru ke kamar mandi dan meminta sajadah pada Beni.

“Ben kamar mandi dimana aku mau solat, sama pinjam sajadah ya, terus tempat solatnya dimana?,” tanyaku beruntun.

“Kamar mandi di belakang lurus aja, nanti sebelah kanan, biar ku ambilkan sajadah untukmu, terus nanti solatnya di ruang galeri aja ya sebelah kiri, sajadahnya ku bentangkan di sana,” jelasnya menunjuki tempat yang akan ku jalani.

Dari lorong menuju dapur lampu tampak redup, cahaya merah seperti lampu lama yang di tutup dengan kaca berbahan bakar minyak tanah. Pikirku jaman sudah sangat modern tapi lampu ini masih terpampang di ujung tembok, berjajar dua belas membentuk persegi lima seperti perisai.

Samarnya aku mendengar tumpahan air dari sisi belakang pintu dengan gantungan pas bunga putih yang sudah kering, seperti melati. 

Dengan penasaran aku mulai melihat kanan kiri setiap sudut dinding berprasangka ada orang disana.

“Seperti suara air, tapi kamar mandi kan sebelah kanan, itu apa ya kok suaranya semakin jelas, des des des des des,” suara air menetes perlanan namun semakin cepat.

Aku mulai mendekati pintu itu, perlahan dengan seperti maling yang sedang mengendap-endap kecil, bulu-buluku mulai naik, seperti ada hawa panas di belakang punggungku. Suara itu seperti hembusan nafas yang keluar dari perut panas. 

Tubuhku seperti didekap dengan perlahan, entah apa itu, aku tidak bisa melangkah. Suara berisik mulai terdengar dari balik pintu itu, lantunannya tidak terarah sepeti ingin meminta sesuatu. Aku mulai membalikkan tubuku yang mulai kaku, perlahan dengan mataku yang tak bisa berkedip, di depan ku bunga putih itu, dengan dua belas merantai seperti bunga melati pengantin.

“Ada apa ini, kenapa tubuhku tidak bisa bergerak, bukannya ini bunga untuk pengantin yang diletakan di atas kepala, kenapa dibiarkan menggantung di pintu,” kataku dalam hati.

Seperti sosok di sana, hitam dan samar. 

“Kacamataku? Dimana dia, sial! Aku lepas karna ingin berwudhu, Siiii aa, apa ini kenapa mulutku juga tak bisa bergerak,” rasaku yang mulai sangat takut. 

Dari kejauhan Beni mulai mencariku. Nadanya yang begitu lembut menggil namaku.

“Lia, kamu sudah selesai? Kok lama sekali wudhu nya, Liii, Liaa,” panggilnya dengan nada melantun.

“Benn iii,” bataku tak bisa bicara.

“Ben, aku disini tolong aku Ben, aku gak bisa bergerak,” kataku dalam hati.

Tirai berbunga itu mulai bergerak, Beni memasuki dapur dan mencariku, dengan raut wajahnya yang begitu gembira dengan lagu Jawa yang dinyanyikannya. Beni menemukanku, seperti tidak khawatir dan memberikan senyuman lebar.

“Bagaimana Lia, Hahaha,” tawanya mencekik telingaku. 


~Bersambung


NB :Cerita ini hanya fiksi belaka, stay tune cerita selanjutnya hihihi